- June 21, 2017
- Posted by: Properti Syariah Tegal
- Category: Konsultasi Syariah
Tanya :
Ustadz, bolehkah seseorang membeli rumah secara kredit dari developer dengan menjaminkan tanahnya? Akadnya bai’ istishna’, dan tanah tersebut sudah menjadi hak milik (bukan objek jual beli). (Hamba Allah, Makassar)
Jawab :
Pembelian rumah dengan akad bai’ istishna’ tersebut hukumnya sah selama memenuhi segala syarat dalam bai’ istishna’. Namun tidak sah menjadikan tanah di bawah rumah itu sebagai jaminan (rahn).
Mengenai sahnya membeli rumah dari developer secara kredit dengan akad bai’ istishna’, karena akad bai’ istishna’ dapat diterapkan pada kasus tersebut. Definisi akad istishna’ (manufactoring contract) adalah akad atas suatu barang di dalam tanggungan yang mensyaratkan adanya proses pembuatan barang oleh pihak pembuat (penjual). Akad bai’ istishna’ hukumnya boleh, karena Nabi SAW pernah melakukannya, yaitu pernah meminta untuk dibuatkan cincin dan mimbar. (HR An Nasa`i no 9511;Abu Dawud no 1082; Al Bukhari no 875). (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Buyu’, hlm. 88).
Akad bai’ istishna’ termasuk akad jual-beli, namun memiliki hukum-hukum khusus. Di antaranya pada saat akad, barangnya tidak/belum ada, namun sudah dijelaskan sifat-sifatnya. Bai’ istishna’ memang mirip dengan bai’ salam (jual beli pesan) yang barangnya sama-sama belum ada saat akad. Bedanya, dalam bai’ salam tidak disyaratkan penjual membuat barang, sedang dalam bai’ istishna’ penjual disyaratkan membuat barang. Dalam bai’ salam disyaratkan pembayaran harus dilakukan di depan, sedang dalam bai’ istishna’ pembayaran tak harus di depan, tapi boleh dibayar di belakang (utang) dan boleh pula diangsur (cicilan). (Ziyad Ghazal, Masyru’ Qanun Al Buyu’, hlm. 93; Husamuddin Khalil, ‘Aqd Al Istishna’ Ka Al Bada`il Al Syar’iyyah, hlm. 29; Ahmad Bilkhair, ‘Aqd Al Istishna’ wa Tathbiqatuhu al Mu’ashirah, hlm. 4-5).
Berdasarkan definisi akad bai’ istishna’ di atas, membeli rumah dari developer dengan sistem kredit seperti yang ditanyakan hukumnya sah menggunakan akad bai’ istishna’, selama memenuhi segala syarat-syaratnya.
Hanya saja, jika pembeli menggunakan jaminan (rahn) berupa tanah yang ada di bawah rumah tersebut, akad jaminan (rahn) ini batil atau tidak sah, berdasarkan 2 (dua) alasan sbb;
Pertama, karena tak dapat terwujud penerimaan (al qabdhu) pada tanah yang dijaminkan tersebut. Sebab tanah tersebut bukan tanah kosong yang memungkinkan penerimaan (al qabdhu), melainkan tanah yang sudah menyatu dengan bangunan rumah di atasnya. Padahal adanya penerimaan (al qabdhu) atas jaminan oleh pihak yang berpiutang adalah syarat agar akad jaminan (rahn) bersifat mengikat (luzuum). Dalilnya firman Allah SWT (yang artinya), “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang/diterima (oleh pihak yang berpiutang) (fa-rihaan maqbuudhah).” (QS Al Baqarah [2] : 283). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/339).
Kedua, karena tanah yang dijaminkan tersebut tak memenuhi syarat sebagai barang jaminan (rahn). Sebab salah satu syarat barang jaminan adalah barang itu boleh dijual-belikan. Kaidah fiqih menyebutkan: kullu maa jaaza bai’uhu jaaza rahnuhu (setiap barang yang boleh dijual-belikan, boleh dijaminkan). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 23/180; M. Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyyah, 8/509).
Tanah jaminan tersebut tidak memenuhi syarat, karena tidak boleh diperjual-belikan. Sebab tanah itu sudah menyatu dengan bangunan di atasnya, sehingga tidak dapat diserahkan (tasliim) oleh penjual kepada pembeli. Padahal syara’ telah melarang menjual barang yang tidak dapat diserahkan (tasliim) oleh penjual kepada pembeli, sesuai sabda Nabi SAW,”Janganlah kamu menjual apa-apa yang tak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laisa ‘indaka) (HR Abu Dawud no 3505, Tirmidzi no 1250). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/289).
Jadi, tanah tersebut tidak sah sebagai jaminan. Solusinya memilih beberapa alternatif, yaitu meneruskan akad jual beli rumah tersebut tanpa jaminan, atau membatalkan (fasakh) akad jual beli rumah tersebut. (Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah, hlm. 108). Atau jika dibutuhkan rahn maka harus barang lain yang bisa diperjualbelikan. Wallahu a’lam. (Ustadz Shiddiq al Jawi)